PENDIDIKAN

ETIKA DAN KESANTUNAN BERPOLITIK.

Penulis adalah Arifulhaq, S.Pd,. M.Hum. Ketua PDM Deli Serdang, Dosen di FKIP UMSU Medan, SMK N 1 Pancur Batu Deli Serdang & SMP Dharma Pancasila Medan,   Sabtu. 31 Oktober-2020.

Medan (SUMUT), SUARA INDEPENDENTNEWS.ID

Dewasa ini berbagai masalah yang  sering mencuat di negeri ini,  sangat erat dengan penyimpangan norma-norma dan nilai-nilai beretika. Korupsi, kejahatan, dan penindasan lainnya terjadi di berbagai komponen masyarakat, mulai dari masyarakat biasa hingga para penguasa dan elit politik Indonesia.

Masyarakat sudah terbiasa menyaksikan bagaimana antar pejabat saling hujat, saling membela diri seolah satu sama lainnya tidak merasa bersalah. Pejabat dengan  seenaknya mengeluarkan kata-kata kotor dan asusila ; kata-kata yang tidak layak didengar,  semuanya bergaung di berbagai media massa dan media sosial.

Yang merasa terpojok dan dibekingi dengan fulus dengan mudahnya bisa mengutak-atik hukum.Mereka seolah mempertontonkan sebuah drama super power kekuasaan menara gading yang tak bisa diraih oleh masyarakat awam.Publik  menyaksikan betapa ketidaknyamanan ucapan-ucapan ini  seolah dibiarkan oleh para pejabat di negeri kita ini.

Keramahtamahan dan etika yang seyogyanya menjadi ciri bangsa ini seolah tergerus seiring pencitraan yang dilakukan demi mengejar sebuah jabatan. Kesantunan  ataupun tata krama tak lagi menjadi pertimbangan ketika berbicara.

Kata demi kata yang keluar dari mulut  “kata-kata toilet” seakan busur yang melesat menohok perasaan setiap orang yang dituju tak lagi digubris, yang penting ngomong, “Crot !” selesai; sebagai  contoh :

1).Terserah orang mau terima atau tidak itu bukan urusan gua. Yang penting gua bicara !, 2). Elu, jaga mulut  lu, ya…Emangnya lu nggak kenal ama gua. Ha…? Enak aja nuduh-nuduh, pake otak lu !ntar nenek lu kualat..!,   3). Abang  jangan   macam-macam, ntar Masuk Barang Tuh…!

Melihat gejala kata-kata ataupun kalimat yang tidak wajar diucapkan ini, tentu kita tidak bisa melepaskan diri dari makna ataupun tujuan kalimat  tersebut. Apakah ada yang salah dalam kalimat tersebut?, Apakah kalimat tersebut telah memenuhi standar baku bahasa Indonesia, sopan atau tidak sopan?, Apakah kalimat itu cukup etis ketika disampaikan kepada publik ?.

Dalam menyampaikan informasi di depan khalayak tentu saja haruslah menunjukkan kesahihan data, berterima dan dimengerti oleh khalayak. 

Nilai-nilai estetika dan etika dalam kalimat haruslah  menjadi acuan pertimbangan. 

Sudah banyak contoh ketidakharmonisan  berbuah menjadi huru hara hanya karena faktor etika tidak diperhatikan pada saat berkomunikasi. 

Pertanyaannya adalah mengapa masalah etika ini begitu penting (urgent) dalam berkalimat ?

Sejenak marilah merenung bahwa sebenarnya nenek moyang kita  telah meninggalkan  segudang nilai  hikmah  (wisdom values) dalam menjalankan hidup keseharian kita , masalahnya adalah banyak yang pura-pura tidak tahu dan juga tidak mau  tahu. Tata krama, kesantunan dan etika sebenarnya sudah tersedia dan dimiliki oleh  berbagai suku yang ada di negeri ini.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia,  Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia, atau cabang filsafat yang membahas prinsip-prinsip moralitas politik. Etika politik sebagai ilmu dan cabang filsafat lahir di Yunani pada saat struktur-struktur politik tradisional mulai ambruk. Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Ethes” yang berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau dapat diartikan kumpulan peraturan tentang kesusilaan.

Dengan kata lain, etika politik merupakan prinsip moral tentang baik-buruk dalam tindakan atau perilaku dalam berpolitik.

Etika politik juga dapat diartikan sebagai tata susila (kesusilaan), tata sopan santun (kesopanan) dalam pergaulan politik.Dalam prakteknya, etika politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar. Untuk itu, etika politik berusaha membantu masyarakat untuk mengejawantahkan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata.

Selain itu,   dalam TAP MPR No. VI/MPR/ 2001 disebutkan bahwa etika  adalah rumusan yang bersumber dari ajaran agama yang bersifat universal dan nilai-nilai budaya bangsa yang terjamin dalam Pancasila sebagai acuan dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Maknanya adalah dalam bernegara,  hilangnya   etika perpolitikan adalah awal dari kesewenang-wenangan para penguasa untuk merampas apa yang menjadi hak rakyat.

Dalam etika, aturan-aturan yang sudah menjadi hukum itu perlu ditinjau ulang.Aturan bukanlah hukum yang sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi.Jika pada suatu saat nantiterbukti bahwa aturan-aturan tersebut menuai kritikan yang keras dari masyarakat  berarti aturan yang berlaku itu perlu diubah karena melanggar hak-hak orang lain.

Maka pemerintah dan badan kehormatan yang ada di lembaga dewan perwakilan rakyat, tidak dapat menggunakan hukum yang berlaku sebagai senjata ampuh untuk membenarkan diri.Perlu kita ketahui bahwa hukum yang berlaku sekarang ini adalah hukum yang dibuat oleh pemerintah dan DPR yang sarat dengan kepentingan.Etika merupakan hukum terakhir yang mampu memberi keadilan bagi setiap warga negara.Etika mempertanyakan semua hukum yang sudah berjalan selama ini demi kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat. 

Terkait dengan ini, maka filsufAristoteles tidak pernah melepaskan politik dari etika.  Menurut beliau  politik harus berjalan di atas etika. Politik tak bisa dipisahkan dari komunikasi, oleh karena itu  parapolitikus dalam kesehariannya tidak akan bisa melaksanakan tugasnya kalau tidak memahami kaidah-kaidah bahasa yang sebenarnya.

Dalam menyampaikan visi misi program kerakyatan misalnya, maka tak heran seorang politisi haruslah memperhatikan ide-ide yang disampaikan bisa berterima atau tidak kepada masayarakat yang dihadapinya.

Dapat disaksikan bahwa ketika musim kampanye begitu banyak kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh kaum politisi ini dalam bentuk janji-janji manis hingga sampai pada tingkatan menguak kelemahan pesaing-pesaingnya agar masyarakat bisa mendukungnya. Namun, di balik kalimat-kalimat tersebut kita bisa menilai kesesuaian antara harapan dengan kenyataan yang akan terjadi.

Fakta menunjukkan bahwa hampir semua kalimat yang pernah dilontarkan oleh para juru kampanye dan politikus yang pernah berhadapan dengan masyarakat adalah tak ubahnya bak PEPESAN KOSONG belaka.Kenapa?

Karena ketika telah mendapatkan kursi yang diinginkannya maka sikap  dan bahasa yang dulu dipergunakan  ketika kampanye berubah drastis.  

Mereka tidak ada waktu lagi untuk  bertemu dengan konstituennya.  Gaya bahasa dan perilakunya yang dulu lembut dan santun berubah menjadi seseorang yang selalu menderita “sakit gigi”, cuek bebek dan suka menghindar, bahkan bisa lebih parah menjadi penganut SAD- Social Anxiety Disorder (ketakutan bertemu dengan orang lain).

Oknum  pejabat yang mengamalkan gaya dan perilaku bahasa dalam berpolitik seperti ini sudah terbukti pelan tapi pasti akan ditinggalkan oleh msayarakat. Bahasa adalah Cermin.

Ungkapan “bahasa identik dengan cermin” adalah sebuah  pernyataan istimewa yang harus dicermati dalam berbahasa oleh setiap orang, sebab seseorang yang berbicara baik itu secara pribadi maupun mewakili sebuah kelompok, maka apa yang disampaikan menjadi cermin dari kepribadiannya.

Hal ini jelas bukanlah hal yang keliru, mengingat cara berbahasa seseorang akan menjadi kebiasaan yang membentuk perilaku seseorang, dan pada gilirannya perilaku tersebut akan membentuk kepribadiannya.

Jadi, berbahasa dengan baik, benar, dan santun merupakan hal yang mesti diupayakan sebab  berbahasa dan berperilaku santun merupakan kebutuhan setiap orang.

Seseorang yang berperilaku dan berbahasa dengan santun sebenarnya lebih dimaksudkan sebagai wujud aktualisasi diri.Karena setiap orang harus menjaga kehormatan dan martabat diri sendiri.

Jadi, disamping benar, pemakaian bahasa haruslah mengandung nilai-nilaikesantunan dan berbudaya dimana kalimat yang diujarkan tidak menyinggung perasaan orang lain, tidak mengandung nilai-nilai SARA apalagi bermakna negatif. Sapir dan Worf (dalam Wahab, 1995) menyatakan bahwa bahasa menentukan perilaku  dimana orang yang ketika berbicara menggunakan pilihan kata, ungkapan yang santun, struktur kalimat yang benar menandakan bahwa kepribadian orang itu memang baik.

Sebaliknya, jika ada orang yang sebenarnya kepribadiannya tidak baik, meskipun berusaha berbahasa secara baik, benar, dan santun di hadapan orang lain; pada suatu saat tidak mampu menutup-nutupi kepribadian buruknya sehingga muncul pilihan kata, ungkapan, atau struktur kalimat yang tidak benar dan tidak santun, halus, dan baik.

Berpikir dan berbahasa adalah sebuah kesatuan sistem yang dimiliki seseorang dan secara sadar dioperasikan dalam mesin canggih manusia (brain), menginstruksikan dan mengontrol alat ujar (speech organ) sehingga mampu mengeluarkan bunyi-bunyi, kata, frase, dan kalimat.

Berpikir tertib, berarti kita mampu memecahkan suatu persoalan dengan analisis yang sistematis dan kontekstual. Sedangkan, berbahasa secara santun, berarti kita terampil menggunakan bahasa berdasarkan kaidah baku yang berlaku dalam ragam bahasa (Wahyu Wibowo, 2003: 61).

Prinsip  Baik,  Benar dan Santun.

Penutur  bahasa Indonesia seharusnya di samping dapat berbahasa Indonesia  secara baik dan benar, juga haruslah dapat berbahasa secara santun. Berbahasa secara baik dan benar sudah dikenal masyarakat secara luas karena diajarkan di seluruh jenjang pendidikan dan dipergunakan dalam berbagai situasi.

Sementara itu, penggunaan bahasa Indonesia  secara santun, belum banyak dikenal dalam masyarakat. Pemakaian  bahasa Indonesia  secara santun baru dilakukan atas dasar pranata adat dan budaya yang berlaku dalam bahasa setempat, tetapi belum mendapat perhatian para ahli bahasa untuk merumuskan kaidah secara pasti dan belum menjadi metode dalam pembelajaran  bahasa Indonesia secara khusus.

Harus diakui bahwa  bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dan bahasa resmi negara membutuhkan kebakuan. Pranarka (1979) menjelaskan peranan modernisasi dalam komponen berbahasa, yakni (1) discipline, (2) accuracy, dan (3) precision. Sebagai konsekuensi di dalam berbahasa, orang harus menepati kaidah baik dalam pemeliharaan pola struktur maupun kosakatanya (dicipline).Selain itu,seseorang  harus  secara akurat dan tepat menyatakan idenya yang sesuai dengan pola struktur bahasa serta forum, dan situasi berkomunikasi (accuracy). Ketepatan berbahasa seperti itu tidak hanya membutuhkan disiplin, tetapi juga kecendekiaan (intelektualitas).Hal ini menuntut penutur untuk dapat membatasi bahasa dalam situasi yang aktual. Dapat dilukiskan  bahwa untuk menerapkan kaidah komunikasi yang baik dan aktual, penutur didorong untuk menampilkan kecermatannya (precision).

Selanjutnya,  pada saat berkomunikasi, Grice (1975) mengajukan 4 (empat) komponen agar tuturan dapat menjadi santun yaitu: prinsip kerja sama (cooperative principles) yang meliputi (a) prinsip kualitas  jika berbahasa, apa yang dikatakan harus didukung oleh data), (b) prinsip kuantitas (jika berbahasa, apa yang dikatakan cukup seperlunya saja, tidak ditambah dan tidak dikurangi), (c) prinsip relevansi (jika berbahasa, yang dikatakan harus selalu ada relevansinya dengan pokok yang dibicarakan, dan (d) prinsip cara. (jika berbahasa, di samping harus memikirkan pokok masalah yang dibicarakan, juga bagaimana cars menyampaikannya). Pemikiran Grice ini cukup mencerahkan, setidaknya sudah mulai memikirkan perlunya ada kaidah berbahasa di luar kaidah tata bahasa.Namun demikian, pemikiran Grice tersebut hanya cocok untuk menyampaikan informasi, tetapi justru dapat mengancam keharmonisan hubungan sosial.

Terkait dengan kesantunan berkomunikasi, Austin (1978) juga menyatakan  ada hubungannyadengan tindak tutur . Austin menyampaikan bahwa setiap ujaran dalam tindak komunikasi selalu mengandung tiga unsur yaitu (1) tindak lokusi berupa ujaran yang dihasilkan oleh seorang penutur, (2) tindak ilokusi berupa maksud’yang terkandung dalam ujaran, dan (3) tindak perlokusi berupa efek yang ditimbulkan oleh ujaran.

Hal ini juga diperkuat oleh  Poedjosoedarmo (1978) yang  mengemukakan bahwa santun tidaknya pemakaian bahasa dapat diukur melalui 7 (tujuh) prinsip yaitu:1).Kemampuan mengendalikan emosi agar tidak “lepas kontrol” dalam berbicara.  2).Kemampuan memperlihatkan sikap bersahabat kepada mitra tutur. 3). Penggunaan kode bahasa yang mudah dipahami oleh mitra tutur. 4). Kemampuan memilih topik yang disukai oleh mitra tutur dan cocok dengan situasi. 5). Penyampaian tujuan pembicaraan dengan jelas, meskipun tidak harus seperti bahasa resmi (proposal).6). Pembicara hendaknya memilih bentuk kalimat yang baik dan mengucapkan dengan enak agar mudah dipahami dan diterima oleh mitra tutur dengan enak  pula. 

7).Memperhatikan norma  tutur lain, seperti gerakan tubuh (gestur), urutan tuturan. Jika ingin menyela, katakan maaf,dan mengenai gerakan tubuh (gestur), pada saat berbicara tunjukkan wajah berseri dan penuh perhatian terhadap mitra bicara.

Di samping prinsip-prinsip di atas, untuk menyatakan kesantunan dibutuhkan strategi dalam berkomunikasi, yaitu: (a) apa yang dikomunikasikan, (b) bagaimana cara mengomunikasikannya, dan (c) mengapa sesuatu hal perlu dikomunikasikan. Jika ketiga hal itu dapat digunakan secara benar, komunikasi akan terasa santun dan tidak mustahil berbagai tujuan komunikasi dapat dicapai.

Selanjutnya,  pemakaian bahasa dapat dikatakan santun jika ada prinsip rukun dan kurmat (Geertz dalam Magnes Suseno, 1985: 38). Prinsip kerukunan mengarah  kepada kewajiban setiap anggota untuk (harmoni) menjaga keseimbangan sosial, sedangkan prinsip kurmat bermakna “hormat” merujuk pada “kewajiban” menghargai orang lain sesuai dengan status dan kedudukan masing-masing dalam masyarakat . Selain dua hal itu, nilai-nilai lainnya seperti rendah hati, sikap mau menjaga perasaan, sikap mau berkorban, sikap mawas diri dalam budaya nasional  dapat menumbuhkan nilai luhur lain. Seperti budaya malu, budaya hormat, berhati-hati dalam bertindak, dan  timbangrasa. Nilai-nilai dalam budaya nasional (sebagai contoh; Jawa) dapat menjadi prinsip yang dipegang dalam membiasakan berbahasa santun.

Realitas dalam masyarakat, pemakaian bahasa ada yang santun dan ada yang tidak santun.Kondisi ini disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari ketidaktahuan kaidah kesantunan sampai pada ketidakmahiran dalam berbahasa santun.Kondisi ini menjadi persoalan bagi kita, jika ingin membudayakan bahasa santun di masyarakat.

Untuk mengatasinya, beberapa hal yang bisa dilakukan diantaranya dengan pembinaan yang dilakukan terus-menerus melalui berbagai jalur, baik keluarga, sekolah, kantor, dan lembaga-lembaga lain tempat berkumpulnya banyak orang. Selain itu, juga dibutuhkan pengawasan atau kontrol yang sifatnya “sapa senyum” agar masyarakat semakin sadar untuk menggunakan bahasa yang santun secara berkelanjutan.

Meskipun kaidah kesantunan belum ada acuan yang tersusun secara sistematis, jika setiap orang memiliki motivasi untuk berbahasa secara santun, niscaya akan dapat berbicara secara santun, minimal setingkat dengan kesantunan yang berkembang di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar.

Pada pemakaian bahasa santun setidaknya dapat dilihat dari dua hal, yaitu pilihan kata (diksi)dangaya bahasa. Kecerdikan memilih kata akan mempengaruhi  seorang penutur dapat menjadi salah satu penentu santun-tidaknya bahasa yang digunakan. Setiap kata disamping memiliki makna tertentu, juga memiliki daya (kekuatan) tertentu.

Jika pilihan kata yang digunakan menimbulkan daya bahasa tertentu dan menjadikan mitra tutur tidak berkenan, maka penutur akan dipersepsi sebagai orang yang tidak santun . Selain itu, kesanggupan menggunakan gaya bahasa seorang penutur dapat terlihat tingkat kesantunannya dalam berkomunikasi.

Gaya bahasa bukan sekadar mengefektifkan maksud pemakaian bahasa, tetapi memperlihatkan keindahan tuturan dan kehalusan budi bahasa penutur .Faktor penentu kesantunan sendiri dapat dilihat dari beberapa aspek.

Yakni aspek kebahasaan dan aspek nonkebahasaan.Aspek kebahasaan meliputi intonasi, nada, pilihan kata, gerak-gerik tubuh, mata, kepala, dan sebagainya.Sedangkan aspek nonkebahasaan berupa pranata sosial budaya masyarakat.Misalnya, anak kecil harus selalu hormat dengan orang tua, makan tidak boleh sambil bicara dan berkecap, perempuan tidak boleh tertawa terbahak-bahak, dan lainnya.

Kesantunan Berpolitik.

Kesantunan dan Politik adalah dua kata yang menyatu dan kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pentas politik di tanah air. Citra politik seseorang dapat dirancang, dibangun dan diperkuat melalui proses kognitif dan afektif.  Semua kegiatannya tentu saja tak berlepas dari media massa. Salah satu bentuk pencitraan yang dilakukan oleh para elit politik adalah “Politik Santun”.

Melalui pendekatan ini diyakini akan  sangat besar pengaruhnya  di tengah budaya Indonesia yang menjunjung tinggi budaya kesantunan  (politeness-context culture).  Bahkan filsuf  Socrates menyebutkan bahwa politik adalah kesantunan. Politik adalah martabat dan harga diri sehingga dalam berpolitik seseorang harus memiliki keutamaan moral.

Dalam melaksanakannya, politik adalah ilmu dan seni yang berorientasi pada upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.Jadi, manakala kepentingan masyarakat tidak terpenuhi bahkan terabaikan maka sesungguhnya hal ini telah menodai politik itu sendiri.Politik santun dan kesantunan berpolitik bukanlah sekedar impian.

Hal itu bisa diwujudkan melalui dorongan dan tekad bulat untuk mempraktekkan politik yang bermoral dan santun dalam bingkai kesungguhan hati, kejernihan berpikir serta keberanian untuk memulai.

Sebagai contoh dari keberhasilan pencitraan“ Politik Santun”ini, penulis mencoba mengambil contohsosok seorang SBY  yang berhasil naik ke puncak tertinggi pemerintahan di negeri ini.Di berbagai kesempatan SBY selalu menggaungkan kesantunan berbicara dan beretika dalam berpolitik, sehingga pada saat kemunculannya menjadi pemicu keterpesonaan publik ketika pasca reformasi yang telah melahirkan dan mengakomodasi kebebasan berorganisasi dan menyatakan pendapat membuat suasana cenderung anarkis.

Apalagi kian hari ada kecenderungan bahwa  kedewasaan berpolitik belum sepenuhnya terwujud. Reformasi yang digulirkan seharusnya menjadi motor  lahirnya politisi-politisi yang matang karena kran politik tidak lagi tersumbat sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru ternyata hanya menunjukkan pergantian elit tanpa perubahan perilaku.  Tapi apa dinyana, reformasi tersebut malah telah menjadi bumerang yakni menjadi ajang kebablasan dimana elit politiknya sibuk “bergulat” meributkan hal-hal yang tidak penting bahkan  tidak etis.

Akhirnya tidak ada yang dapat dibanggakan oleh masyarakat terhadap elit politiknya yang tidak memiliki rasa peduli atau empati atas keadaan masyarakat. Alih-alih mengurus masyarakat, elit politik justru asyik  denganide imajinatif yang ditawarkan kepada masyarakat terus memanfaatkan jurus aji mumpung yang dimilikinya.

Selanjutnya, perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud berpolitik secara santun adalah ketika menyampaikan pendapat atau kritik tidak disampaikan dengan bahasa atau kata-kata kasar, menyerang pribadi, kelompok atau partai.Tidak memanfaatkan kesempatan atau memancing di air keruh.

Himbauan untuk berpolitik secara santun biasanya terjadi kalau pemerintah atau partai pemerintah (plus koalisi-nya) diterpa masalah.Sehingga datang serangan dari pihak lainnya. Maka mereka yang berbuat seperti itu, menyerang di kala orang lemah, mengata-ngatai dengan kalimat yang kasar akan dikecam sebagai berpolitik tanpa sopan-santun.

Namun sebaliknya yang tidak bersikap demikian akan dipandang sebagai politisi yang baik, politisi yang santun. Contohnya adalah tidak mengomentari apa yang terjadi di partai lain, apa yang terjadi di partai lain adalah urusan internal, dapur mereka sendiri. Andai saja saya anggota sebuah partai, lalu ada anggota partai lain yang duduk di tampuk pemerintahan melakukan korupsi, apakah benar kalau saya diam saja dan tidak mengomentarinya?. Apakah diam dan mengatakan bahwa itu urusan atau dapur mereka sendiri adalah cara berpolitik yang benar?.Bukankah korupsi tidak saja menyangkut urusan di dalam partai melainkan urusan publik, urusan semua orang yang baik langsung maupun tidak dirugikan oleh kasus korupsi itu?

Sopan santun adalah norma sosial yang lazim berlaku di mana saja, jadi tak perlu di tekan-tekankan apalagi kalau kita mendesakkan sikap sopan santun itu sebagai ‘menjunjung tinggi budaya timur’ , seolah-olah orang di luar budaya timur tak mengenal sopan santun. Jadi sesungguhnya apa yang mendasari penekanan sopan santun dalam dunia politik?  Dapat diduga, himbauan agar sopan berpolitik adalah agar kebusukan, aib dan praktek-praktek kecurangan tidak diumbar di depan publik. Membongkar kasus dianggap sebagai mempermalukan orang lain, dan mempermalukan orang lain itu tidaklah santun.

Keadaan  politik yang sesungguhnya adalah  pertarungan kepentingan, meski sama-sama berjuang untuk rakyat atau masyarakat banyak,  belum tentu argumen atau rasionalisasinya akan sama. Maka adalah wajar jika dalam dinamika politik kerap muncul kata-kata kasar, keras dan bahkan saling tunjuk hidung.Benturan-benturan seperti itu dengan sendirinya bisa dikurangi atau dieliminir bukan dengan menonjolkan kesantunan melainkan para pelaksana atau pelaku kepemerintahan merumuskan segala sesuatunya dengan jelas, arah mana yang hendak dicapai dan dengan cara apa perjalanan itu ditempuh. Andai itu semua jelas dan terbuka maka kemungkinan munculnya dugaan-dugaan yang bisa dianggap sebagai kecurigaan atau bahkan fitnah tentu saja akan semakin mengecil.

Membangun Prinsip Berpolitik Yang Santun.

Di bidang politik, Harold Lasswell mendefinisikan politik sebagai who gets what, when and how (Siapa mendapat Apa, Kapan dan Bagaimana).Sedangkan Aristotelesmemiliki pandangan bahwa politik merupakan best possible system that could be reached(sistem terbaik yang mungkin bisa dicapai).Pengertian yang diberikan kedua filsuf tersebut memang benar adanya dalam setiap urusan politik, bagaimana setiap pihak yang berusaha mendapatkan kepentingannya dalam berpolitik. Tapi fakta berbicara lain, berbagai hal untuk mencapai kepentingannya  sering dilakukan dengan cara-cara yang kurang baik. Contohnya, praktik-praktik menjatuhkan lawan politik dengan cara-cara kotor pun telah menjadi populer dalam tahun politik 2014 lalu.

Peristiwa-peristiwa yang awalnya sederhana berubah menjadi besar dianggap sebagai sebuah fenomena kebebasan yang kebablasan dapat terlihat jelas ketika bagaimana dalam konteks pertarungan politik lalu terlihat adanya upaya pembunuhan karakter diantara calon pasangan yang ada. Bahkan hingga muncul istilah  politisasigossip karena seperti halnya selebritis para calon banyak digosipkan dalam infotaiment maupun berita TV dengan isu- isu yang simpang siur yang tidak jelas kebenarannya.Tentunya hal tersebut menimbulkan efek yang negatif khususnya bagi kepercayaan publik terhadap praktik politik di negeri ini.

Untuk menghindari efek negatif tersebut setiap politisi seharusnya  mengedepankan berpolitik secara santun baik dengan berusaha mencontoh  gaya ataupun cara yang pernah dipraktikkan  oleh almarhum sejumlah tokoh bangsa ini sepertiKHA. Dahlan, Ahmad Nassir, maupu n Buya Hamka dengan  selalu mengdepankan kelemahlembutan dan kesantunan dalam berbicara.Membangun prinsip-prinsip berpolitik secara santun dapat dibangun dari berbagai pemikiran filsuf politik klasik.Pemikiran dari nama-nama seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles dapat juga dijadikan sebagai rujukan berfikir.

Socrates yang merupakan bapak filsuf politik sangat mendasarkan pemikiran politiknya pada nilai- nilai kesantunan  politik tak ubahnya kesantunan. Di samping itu Socrates juga menjelaskan bahwa politik adalah the art of the possible. Pemikiran politiknya merujuk pada konsep pembagian kekuasaan yang ideal, mengutamakan kepentingan umum, kesejahteraan rakyat, dan kedamaian negara.Berpolitik santun ala Socrates adalah selalu mendasarkan motif dengan keutamaan moral, tutur kata bijak serta kesantunan kebijakan.Intinya, berpolitik secara santun berarti selalu berorientasi hanya pada kemaslahatan rakyat dan kemajuan negara.

Begitu pula ketika merujuk pada pemikiran Plato, yang mana Plato mendasakan pada prinsip  membangun masyarakat adalah hal yang utama  dan  politik adalah jalan menuju perfect society.Berpolitik secara santun haruslah didasari oleh prinsip-prisip yang jelas agar tidak menimbulkan bias kesantunan politik. Membangun prinsip berpolitk secara santun dapat diawali dengan menanamkan obyektivitas, rendah hati, dan berpikir luas (open-minded person.)

Dengan demikian tidak berlebihan jika pada saat inikita  mencoba berandai-andai; seandainya  Socrates masih hidup tentulah  ia akan menjadi orang yang paling sibuk. Sebab, tentu ia akan disibukkan dengan aktivitas mengajarkan kepada para politisi bagaimana cara berpolitik yang santun dan santun berpolitik. Atau, seandainya Socrates masih ada kira-kira apa yang akan ia lakukan ketika melihat banyak elit politik yang tidak santun dalam berpolitik.  Budaya politik santun yang telah dibangun dengan susah payah  dan diamalkan secara konsisten diharapkan akan menciptakan citra positif  seorang  politisi  benaran dan matang, bukan politisi karbitan yang  penuh kepura-puraan.

Kesimpulan:

Pada hakikatnya, politik sopan santun mengajarkan untuk saling menghormati sesama manusia, tidak saling menghujat apalagi menghina sekalipun itu pesaingpolitik.Dalam menyampaikan  ide haruslah memperhatikan etika dan kesantunan berbahasa, sebab mengabaikan  norma-norma  dalam berbicara ini bisa menyebabkan kegaduhan yang dahsyat. Memberlakukan lawan sebagai dirinya sendiri  sertamenjunjung prinsip perjuangan dalam gelanggang politik harus jelas, yakni kesejahteraan dan keadilan.

Tujuan politik adalah memperjuangkan terwujudnya kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya—kesejahteraan pribadi dan kelompok.Apalagi politik saling menikam, menusuk, dan saling menggigit adalah sesuatu yang jauh dari cita-cita luhur politik yang sebenarnya. Para kompetitor politik harus berdewasa dalam mengarungi samudra politik, bila tidak, semuanya akan terhanyut dan cita-cita menuju dermaga  kesejahteraan umum  tidak akan tercapai (atau tinggal kenangan), karena nafsu pribadi untuk ingin berkuasa.

Marilah kita belajar dari para leluhur kita (founding fahers of this nation) yang telah meninggalkan kepada kita berupa budaya ketimuran nan luhur;santun,beretikadan beradab.

Sudah saatnya, kita mengakhiri politik kotor, tujuan menghalalkan segala cara. Apa pun boleh dilakukan, termasuk membungkam  nyawa lawan politik, demi mencapai kursi  kekuasaan, adalah hal yang ditentang dalam politik sopan santun, karena itu politik  yang tidak baik-politik busuk. Politisi berwatak seperti  ini cenderung mengabaikan politik sopan santun yang lebih mengutamakan dimensi kemanusiaan  “Homo Homuni Socius”(manusia yang satu menjadi sahabat bagi sesama yang lain). Hendaknya setiap pihak harus mampu berjiwa besar menerima setiap hasil akhir proses politik.

Menjaga profesionalitas, tidak mudah  emosi, tidak  pura-pura, menjaga amanah, bertindak atas kesadaran penuh serta perhitungan yang matang harus menjadi nilai yang dibawa oleh setiap politisi. 

Seorang politisi haruslah benar-benar menjadi penyambung lidah rakyat karena kepadanya melekat  tiga fungsi utama yang yakni  sebagai legal drafting, policy maker, dan legislator.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button