Pemerintahan

Peraturan Kepala Desa Sebagai Jenis “Regeling Regel” Terendah

Semarang, Suaraindependentnews.id – Minggu (8/8/2021), Yang tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan tujuh jenis peraturan perundang-undangan, yaitu: (1) UUD Negara RI 1945, (2) Ketetapan MPR, (3) UU/Perppu, (4) PP, (5) Perpres, (6) Perda Povinsi, dan (7) Perda Kabupaten/Kota. Dalam pasal itu tidak disebutkan ada peraturan desa. Baru pada Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dinyatakan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup juga peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

“Jadi, lagi-lagi tidak ada tersurat kata-kata “peraturan desa” karena yang ada adalah peraturan yang ditetapkan oleh kepala desa atau yang setingkat”, jelas MF. Andhi selaku narasumber dan pembicara Kebijakan Publik dan Regulasi Perundang-undangan Desa.

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, juga dalam beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri (dulu Menteri Dalam Negeri dan sekarang Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi), nomenklatur “peraturan desa” memang dimunculkan. Peraturan desa di dalam peraturan tersebut dimaknai sebagai peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa. Jadi, berangkat dari pengertian ini berarti peraturan desa wajib melewati proses pembahasan dan penyepakatan bersama antara Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Barulah setelah melalui proses ini.

“Kepala Desa dapat menetapkan pengesahan suatu peraturan desa. Kewenangan untuk mengeluarkan peraturan desa ini termasuk dalam kewenangan lokal berskala desa di bidang pemerintahan”, tambah Andhi.

Dalam sistem pemerintahan kita saat ini, istilah “desa” dapat mengacu pada dua pengertian yaitu desa (pada umumnya) dan desa adat. Pengklasifikasian seperti ini jelas membingungkan karena bertentangan dengan keruntutan berpikir logis. Tentu yang dimaksud di sini, ada desa adat dan desa non-adat.

Lalu, apakah peraturan desa (dan peraturan desa adat) itu termasuk kategori peraturan perundang-undangan (regeling regel) terendah dalam tata susunan peraturan perundang-undangan di Indonesia? Menarik, bahwa ternyata Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 memuat ketentuan sebagai berikut: “Jenis peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, peraturan bersama Kepala Desa, dan peraturan Kepala Desa.” Dari ketiga jenis peraturan di desa itu, ternyata hanya dua saja yang tegas dinyatakan wajib diundangkan dalam lembaran desa dan berita desa oleh sekretaris desa, yaitu jenis peraturan desa dan peraturan kepala desa. Antara peraturan desa dan peraturan kepala desa jelas terdapat penjenjangan (hirarki) karena peraturan kepala desa merupakan aturan pelaksanaan dari peraturan desa. Memang seharusnya, peraturan bersama kepala desa pun harus tegas dinyatakan berada dalam jenjang yang sama dengan peraturan kepala desa, kendati lingkup keberlakuannya meliputi dua desa atau lebih yang bekerja sama. Artinya, jika ada dua desa yang bekerja sama yang aturan kerja sama itu dituangkan dalam peraturan bersama kepala desa, maka wajib ada dua nomor peraturan kepala desa yang oleh kedua sekretaris desa diundangkan dalam berita desa mereka masing-masing.

Persoalan lain adalah apakah hanya dimungkinkan untuk adanya peraturan bersama kepala desa, tetapi tidak dibolehkan peraturan bersama desa? Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, juga berbagai peraturan pelaksanaannya, sama sekali tidak menyinggung nomenklatur “peraturan bersama desa”. Lalu, apakah jika tidak disebutkan, lalu berarti tidak boleh ada? Apabila pengaturan desa ditujukan untuk antara lain mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama; lalu membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien, efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; maka bentuk kerja sama antar-desa itu seharusnya bisa juga dijalin dalam wujud peraturan payung yang lebih tinggi, yaitu peraturan desa. Oleh sebab itu, tentu boleh-boleh saja ada peraturan bersama desa. Keberadaan peraturan bersama desa ini perlu diberi ruang karena camat yang pada berposisi sebasgai “atasan” terdekat para kepala desa itu tidak diberi kewenangan membentuk peraturan perundangan.

“Dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014, hanya ada peraturan desa yang dimasukkan ke dalam butir ketentuan umum untuk didefinisikan sebagai peraturan perundang-undangan”, kata Andhi yang juga merupakan Konsultan Bidang Tata Pemerintahan RI.

Sementara itu, peraturan kepala desa yang merupakan aturan pelaksanaan dari peraturan desa tidak diberikan pengertiannya. Dengan dibukanya jenis-jenis peraturan perundang-undangan menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, maka peraturan kepala desa pun adalah peraturan yang ditetapkan oleh kepala desa. Ini berarti ia memenuhi syarat untuk menjadi sebuah “regeling regel” yang posisinya lebih rendah daripada peraturan desa. (Red).

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button